Rabu, 14 Januari 2015

EKONOMI TERPIMPIN


Mendengar istilah ‘terpimpin’, sebagian diantara kita akan menanggapinya dengan wajah merengut. Yang dibayangkan adalah statisme: negara mengurusi semua-muanya.
Apalagi, ingatan sejarah kita masih terdistorsi dalam melihat sejarah penerapan demokrasi terpimpin. Seolah-olah kata ‘terpimpin’ sinonim ‘sentralisasi’. Jadinya, bila mendengar kata ‘terpimpin’, imajinasi kita langsung mengarah ke otoritarianisme.
Rupanya, istilah terpimpin bukan hanya dipakai di lapangan politik. Namun, istilah ini juga dipakai di lapangan ekonomi. Namanya: ekonomi terpimpin. Istilah ini merupakan wacana dominan di era pergerakan nasional hingga di tahun 1960-an.
Bung Hatta, yang oleh banyak orang dicap ‘demokrat tulen’, adalah salah satu pengusung gagasan ‘ekonomi terpimpin’. Di tahun 1959, di era dimulainya proyek politik demokrasi terpimpin, Bung Hatta juga beberapa kali membawakan ceramah tentang ekonomi terpimpin. Ceramah-ceramah Bung Hatta itu melahirkan risalah berjudul Ekonomi Terpimpin.
Ekonomi terpimpin adalah antitesa dari ekonomi liberal yang berpanglimakan ‘laissez faire’. Jika ekonomi liberal selalu ingin mendepak peran negara di lapangan ekonomi, maka ekonomi terpimpin justru mempromosikan sebaliknya. Pengusung ekonomi terpimpin melihat negara bisa menjadi alat yang efektif dalam mengorganisir ekonomi yang bisa melahirkan kemakmuran bagi rakyat.
Dukungan Bung Hatta terhadap konsep ekonomi terpimpin bukan hal yang ganjil. Generasi se-angkatan Bung Hatta, termasuk Bung Karno dan tokoh-tokoh pergerakan lain-lainnya, adalah penentang kapitalisme liberal. Malahan, sebagaimana diakui Bung Hatta, hampir semua spektrum pergerakan nasional Indonesia kala itu punya sentimen anti-kapitalis.
Penjelasannya sederhana. Hampir semua spektrum pergerakan nasional itu, dari kalangan nasionalis, marxis, hingga kaum agamais, menganggap penindasan selama ratusan tahun oleh kolonialisme Eropa sebagai ekspresi dari kapitalisme. Mereka tahu betul betapa kekejian kapitalisme menghisap dan mengeksploitasi rakyat jajahan.
Boedi Oetomo, organisasinya kaum priayi itu, menganggap kapitalisme sebagai ‘sebuah tanaman dari negeri asing yang tidak sesuai dengan iklim Indonesia’. Sementara Tjokroaminoto, pimpinan dari Sarekat Islam, menggunakan istilah ‘kapitalisme yang murtad’.
Bung Hatta sendiri sangat menentang ekonomi liberal. Ia bilang, “membiarkan perekonomian berjalan menurut apa yang dikatakan permainan merdeka (bebas) dari tenaga-tenaga masyarakat berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan empuk dari yang kuat.”
Menurut Bung Hatta, ekonomi liberal meletakkan nasib rakyat di tangan orang-seorang (individu kapitalis) yang menjadi ‘juru-mudi’ dalam segala tindakan ekonomi. Akibatnya, ekonomi liberal hanya membawa kemerdekaan dan kemakmuran bagi satu golongan kecil saja, yakni kaum kapitalis. “Kepentingan Orang-seorang didahulukan dari masyarakat,” kata Bung Hatta.




Tidak ada komentar :

Posting Komentar