Rabu, 14 Januari 2015

REVOLUSI MENTAL ALA BUNG KARNO


Revolusi mental! Gagasan ini sedang naik daun kembali. Memang, sejak Calon Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggulirkannya, gagasan ini cukup ramai diperdebatkan.
Gagasan ‘revolusi mental’ menggoda banyak orang. Bagi mereka, revolusi mental dibutuhkan untuk membabat habis mentalitas, mindset, dan segala bentuk praktik buruk yang sudah mendarah-daging sejak jaman Orde Baru hingga sekarang. Namun, tidak sedikit pula yang mencibir gagasan ini sebagai ‘ide komunistik’.
Gagasan revolusi mental, sebagai usaha memperharui corak berpikir dan bertindak suatu masyarakat, bisa ditemukan di ideologi dan agama manapun. Dalam Islam pun ada gagasan revolusi mental, yakni konsep ‘kembali ke fitrah’: kembali suci atau tanpa dosa. Jadi, gagasan ini bukanlah produk komunis atau ideologi-ideologi yang berafiliasi dengan marxisme.
Namun, terlepas dari polemik itu, Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 ini patut diapresiasi. Sebab, bukan hanya berhasil mencuatkan kembali nama dan figur Bung Karno, tetapi juga berhasil mempopulerkan kembali gagasan-gagasan revolusi nasional Indonesia. Salah satunya: Revolusi Mental.
Dalam revolusi nasional Indonesia, gagagasan revolusi mental memang tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno. Dialah yang menjadi pencetus dan pengonsepnya. Dia pula yang mendorong habis-habisan agar konsep ini menjadi aspek penting dalam pelaksanaan dan penuntasan revolusi nasional Indonesia.
Saya kira, sebelum mengulas esensi revolusi mental versi Bung Karno, kita perlu mengenal konteks sosial-historis yang melahirkan gagasan Bung Karno tersebut. Sebab, tanpa mengenal konteks sosial-historisnya, kita juga akan bias menangkap esensi dan tujuan dari gagasan tersebut.
Gagasan revolusi mental mulai dikumandangkan oleh Bung Karno di pertengahan tahun 1950-an. Tepatnya di tahun 1957. Saat itu revolusi nasional Indonesia sedang ‘mandek’. Padahal, tujuan dari revolusi itu belum tercapai.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan revolusi itu mandek. Pertama, terjadinya penurunan semangat dan jiwa revolusioner para pelaku revolusi, baik rakyat maupun pemimpin nasional. Situasi semacam itu memang biasa terjadi. Kata Bung Karno, di masa perang pembebasan (liberation), semua orang bisa menjadi patriot atau pejuang. Namun, ketika era perang pembebasan sudah selesai, gelora atau militansi revolusioner itu menurun.
Kedua, banyak pemimpin politik Indonesia kala itu yang masih mengidap penyakit mental warisan kolonial, seperti “hollands denken” (gaya berpikir meniru penjajah Belanda).  Penyakit mental tersebut mencegah para pemimpin tersebut mengambil sikap progressif dan tindakan revolusioner dalam rangka menuntaskan revolusi nasional.
Sementara di kalangan rakyat Indonesia, sebagai akibat praktek kolonialisme selama ratusan tahun, muncul mentalitas ‘nrimo’ dan kehilangan kepercayaan diri (inferiority complex) di hadapan penjajah.
Ketiga, terjadinya ‘penyelewengan-penyelewengan’ di lapangan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Penyelewengan-penyelewengan tersebut dipicu oleh penyakit mental rendah diri dan tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri. Juga dipicu oleh alam berpikir liberal, statis, dan textbook-thinkers(berpikir berdasarkan apa yang dituliskan di dalam buku-buku).
Di lapangan ekonomi, hingga pertengahan 1950-an, sektor-sektor ekonomi Indonesia masih dikuasai oleh modal Belanda dan asing lainnya. Akibatnya, sebagian besar kekayaan nasional kita mengalir keluar. Padahal, untuk membangun ekonomi nasional yang mandiri dan merdeka, struktur ekonomi kolonial tersebut mutlak harus dilikuidasi.
Namun, upaya melikuidasi struktur ekonomi nasional itu diganjal oleh sejumlah pemimpin politik dan ahli ekonomi yang mengidap penyakit rendah diri (minderwaardigheid-complex). Bagi mereka, Indonesia yang baru merdeka belum punya modal dan kemampuan untuk mengelola sendiri kekayaan alamnya. Karena itu, mereka menganjurkan kerjasama dengan negara-negara barat dan sebuah kebijakan ekonomi yang toleran terhadap modal asing.


EKONOMI TERPIMPIN


Mendengar istilah ‘terpimpin’, sebagian diantara kita akan menanggapinya dengan wajah merengut. Yang dibayangkan adalah statisme: negara mengurusi semua-muanya.
Apalagi, ingatan sejarah kita masih terdistorsi dalam melihat sejarah penerapan demokrasi terpimpin. Seolah-olah kata ‘terpimpin’ sinonim ‘sentralisasi’. Jadinya, bila mendengar kata ‘terpimpin’, imajinasi kita langsung mengarah ke otoritarianisme.
Rupanya, istilah terpimpin bukan hanya dipakai di lapangan politik. Namun, istilah ini juga dipakai di lapangan ekonomi. Namanya: ekonomi terpimpin. Istilah ini merupakan wacana dominan di era pergerakan nasional hingga di tahun 1960-an.
Bung Hatta, yang oleh banyak orang dicap ‘demokrat tulen’, adalah salah satu pengusung gagasan ‘ekonomi terpimpin’. Di tahun 1959, di era dimulainya proyek politik demokrasi terpimpin, Bung Hatta juga beberapa kali membawakan ceramah tentang ekonomi terpimpin. Ceramah-ceramah Bung Hatta itu melahirkan risalah berjudul Ekonomi Terpimpin.
Ekonomi terpimpin adalah antitesa dari ekonomi liberal yang berpanglimakan ‘laissez faire’. Jika ekonomi liberal selalu ingin mendepak peran negara di lapangan ekonomi, maka ekonomi terpimpin justru mempromosikan sebaliknya. Pengusung ekonomi terpimpin melihat negara bisa menjadi alat yang efektif dalam mengorganisir ekonomi yang bisa melahirkan kemakmuran bagi rakyat.
Dukungan Bung Hatta terhadap konsep ekonomi terpimpin bukan hal yang ganjil. Generasi se-angkatan Bung Hatta, termasuk Bung Karno dan tokoh-tokoh pergerakan lain-lainnya, adalah penentang kapitalisme liberal. Malahan, sebagaimana diakui Bung Hatta, hampir semua spektrum pergerakan nasional Indonesia kala itu punya sentimen anti-kapitalis.
Penjelasannya sederhana. Hampir semua spektrum pergerakan nasional itu, dari kalangan nasionalis, marxis, hingga kaum agamais, menganggap penindasan selama ratusan tahun oleh kolonialisme Eropa sebagai ekspresi dari kapitalisme. Mereka tahu betul betapa kekejian kapitalisme menghisap dan mengeksploitasi rakyat jajahan.
Boedi Oetomo, organisasinya kaum priayi itu, menganggap kapitalisme sebagai ‘sebuah tanaman dari negeri asing yang tidak sesuai dengan iklim Indonesia’. Sementara Tjokroaminoto, pimpinan dari Sarekat Islam, menggunakan istilah ‘kapitalisme yang murtad’.
Bung Hatta sendiri sangat menentang ekonomi liberal. Ia bilang, “membiarkan perekonomian berjalan menurut apa yang dikatakan permainan merdeka (bebas) dari tenaga-tenaga masyarakat berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan empuk dari yang kuat.”
Menurut Bung Hatta, ekonomi liberal meletakkan nasib rakyat di tangan orang-seorang (individu kapitalis) yang menjadi ‘juru-mudi’ dalam segala tindakan ekonomi. Akibatnya, ekonomi liberal hanya membawa kemerdekaan dan kemakmuran bagi satu golongan kecil saja, yakni kaum kapitalis. “Kepentingan Orang-seorang didahulukan dari masyarakat,” kata Bung Hatta.




HUKUM MEMAKAIN BATU CINCIN ATAU AKIK DALAM ISLAM


Trend pria memakai batu cincin atau akik begitu merebak sekarang ini, hampir disetiap celah acara baik resmi maupun tak resmi, hanya gara-gaa melihat batu cincin yang melingkar di jari manis, obrolan pun menjadi panjang, mulai dari bisnis sampai hal mistis di dunia ‘perbatuan’.  Celetukan beberapa orang dari mereka yang memang hoby atau mengais rezeki dari usaha jual-beli batu cincin tersebut memancing rasa penasaran. Benarkah memakai batu cincin itu sunah Rasulullah? Apa ada hal mistis atau kelenik ketika memakai batu cincin atau akik?! Halal atau Haram-kah memakai-nya?!
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِسَ خَاتَمَ فِضَّةٍ فِي يَمِينِهِ فِيهِ فَصٌّ حَبَشِيٌّ كَانَ يَجْعَلُ فَصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai cincin perak di tangan kanan beliau, ada mata cincinnya terbuat dari batu habasyah (Etiopia), beliau menjadikan mata cincinnya di bagian telapak tangannya” (HR Muslim no 2094)
Hadits itu-lah yang menjadi landasan bahwa benar Rasulullah itu memakai batu cincin dan mengikat-nya dengan perak, batu yang dikenakan pun beliau peroleh dari Ethiopia, namun berdasarkan refensi mengenai batu apa saja yang dihasilkan dari negara tersebut, ternyata batu Zamrud itu menjadi hasil terbesar bagi bangsa yang pernah mengalami konflik kemanusiaan ini.
Dalam riwayat lain, Ibnul Qoyyim memiliki catatan mengenai cincin yang dikenakan oleh Rasulullah. Bahwa, sekembalinya beliau saw dari Hudaibiyah kemudian beliau saw menulis surat kepada para Raja di bumi yang dibawa oleh para kurirnya. Tatkala beliau hendak menulis surat kepada raja Romawi maka dikatakan kepadanya saw,”Sesungguhnya mereka tidak akan membaca suatu surat kecuali apabila dibubuhi tanda (stempel).” Maka beliau saw menjadikan cincinya yang terbuat dari perak yang diatasnya terdapat ukiran terdiri dari tiga baris. Muhammad pada satu baris, Rasul pada satu baris dan Allah pada satu baris. Beliau pun menyetempel surat-surat yang dikirimkan kepada para raja dengannya serta mengutus 6 orang pada satu hari di bulan Ramadhan tahun 7 H. (Zaadul Ma’ad, juz I hal 119 – 120)

Bersebrangan dari hadits tersebut, ada juga yang menjadikan dalil ini sebagai alasan bahwa memakai batu cincin itu haram. Dikarenakan Rasulullah sendiri pernah membuang cincin yang melingkar di jari kanan-nya. Disaaat Muhammad  SAW mengenakannya maka manusia (pada saat itu) membuat (cincin). Kemudian beliau saw duduk diatas mimbar dan melepasnya seraya bersabda,”Sesungguhnya aku mengenakan cincin ini dan menjadikan batu cincinnya dibagian dalam.”maka beliau saw melemparnya dan mengatakan,”Demi Allah aku tidak akan mengenakannya selama-lamanya.” Maka manusia yang menyaksikannya saat itu pun membuang cincin mereka.” (HR. Muslim)
Memakai batu cincin tidak disarankan, karena akan menimbulkan sifat keangguhan, terlebih di zaman sekarang, memakai batu cincin adalah gengsi bagi kalangan tertentu, dikarenakan semakin bagus batu yang ia kenakan, maka akan semakin mahal harga yang menjadi acauan gengsi, pamor atau populeritas tentang sosok yang memakai batu tersebut. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan khurafat.
Sebagian masyarakat kita masih memelihara kepercayaan terhadap benda-benda mati. Mereka menganggap bahwa benda mati tertentu memiliki kekuatan, kesaktian, atau keistimewaan yang sangat dahsyat, sehingga bisa dijadikan sebagai jimat, senjata, atau yang lainnya. Padahal, kepercayaan seperti ini hanyalah bersumber dari khurafat, khayalan, & halusinasi semata.
Keyakinan seperti ini masih mendarah daging dlm sebagian kaum muslimin di negeri kita ini. Batu akik, yang menurut sebagian orang memiliki kekuatan ghaib atau kekuatan supranatural tertentu sehingga bisa dipakai sebagai jimat atau senjata kesaktian. Bahkan kita jumpai para pedagang yang menjual jimat model ini di daerah-daerah tertentu. Atau keyakinan sebagian orang bahwa pusaka peninggalan kerajaan seperti keris, tombak, atau kereta raja memiliki kekuatan mistis tertentu yang dapat memberikan perlindungan ghaib kepada pemiliknya.
Berdasarkan Riwayat dari Ahmad, Al-Hakim, & Ibnu Hibban yang dinilai shahih oleh Al-Haitsami dlm Al-Majma’ Rasulullah bersabda ;
Barangsiapa yang menggantungkan jimat, semoga Allah tak mengabulkan tujuan yang dia inginkan. Dan barangsiapa yang menggantungkan wada’ah (salah satu jenis jimat), semoga Allah tak menjadikan dirinya tenang.”
Rasulullah sudah menghapus segala apa pun bentuk khurafat termasuk kepercayaan khurafat terhadap jimat dan di dalam-nya termasuk adalah mempercayai bahwa ada kekuatan magic di dalam batu akik.  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika beliau berkhutbah pada Haji Wada’,
“Ketahuilah, seluruh perkara jahiliyyah terkubur di bawah kedua telapak kakiku.”                                                    (   HR. Muslim no. 3009 )
An-Nawawi rahimahullah mempertegas dengan hadits lainnya
“Adapun perkatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,’(Terkubur) di bawah kedua telapak kakiku’, (hal ini) merupakan isyarat akan terhapusnya perkara tersebut.”  (Syarh Shahih Muslim, 4/312. )
Bisa-bisa saja dan sah-sah saja atau boleh-boleh saja jika memakai batu cincin atau akik tersebut, namun yang menjadi pertanyaan, ‘ sanggupkah mengahapus rasa riya ( pamer ) ketika kita memakai batu tersebut? Dan sudah kuat-kah aqidah kita untuk menghapus perihal dugaan yang berbau khurafat dalam batu akik yang mampu menggeser ketauhidan kita? Ingat-lah! Syaitan tidak akan pernah menyerah untuk menggoda dan menggeser aqidah manusia dengan menyisipkan nilai-nilai syirik sehalus apa pun. ( Wallahu’alam )

Selasa, 13 Januari 2015

Sejarah dan Perkembangan Kapitalisme di Indonesia





Sejarah dan Perkembangan Kapitalisme di Indonesia

            Indonesia yang saat ini menganut Demokrasi Pancasila, tak urung dari sistem kapitalisme yang terus berkembang. Kapitalisme erat hubungannya dengan proses-proses ekonomi dan pengindustrian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kapitalisme berarti sistem dan paham ekonomi yang modalnya bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta, dengan ciri persaingan dalam pasar bebas. Sistem kapitalisme di Indonesia tidak tumbuh begitu saja, melainkan melalui perjalanan sejarah yang panjang. Seiring dengan perkembangan kapitalisme, rakyat Indonesia pun dapat menilai bagaimana kapitalisme menguntungkan maupun merugikan bangsa ini. Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan bagaimana susunan kapital Indonesia berkembang pada awalnya, perkembangan kapitalisme setelah Indonesia merdeka, serta bagiamana perkembangan kolonial memengaruhi struktur kapital pasca Indonesia merdeka.       

            Kapitalisme awalnya tumbuh dan berasal dari Amerika Utara dan Eropa. Menurut Tan Malaka (2008: 45), sistem kapitalisme di Indonesia masih muda atau masih prematur karena negara Indonesia baru menggunakan mesin untuk proses industri seperempat abad belakangan ini. Susunan kapital Indonesia yang prematur ini dikarenakan penjajah yang terlalu lama mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, sehingga orang Indonesia belum dapat menggunakan sumber daya alamnya dengan maksimal. Terdapat beberapa faktor internal yang juga memengaruhi prematurnya sistem kapitalisme di Indonesia. Faktor perbedaan bentang alam Indonesia, misalnya. Pulau Jawa memiliki lebih banyak lahan pertanian dan Pulau Sumatera memiliki lebih banyak lahan yang mengandung sumber daya alam, seperti besi dan minyak tanah. Dengan demikian, mesin perindustrian modern yang kini lebih berkembang di Pulau Jawa, sesungguhnya lebih tepat jika digunakan untuk mengembangkan Pulau Sumatera. Selain itu, sistem kapitalis menyebabkan perpindahan penduduk. Penduduk yang tadinya berada di desa berpindah ke kota karena tingginya tingkat kebutuhan tenaga kerja di kota-kota besar. Hal ini menyebabkan pertumbuhan kapitalisme di Indonesia tidak merata. Susunan kapitalisme Indonesia selanjutnya terus berkembang, namun tidak secara alami (Malaka, 2008: 48). Berbeda dengan Amerika Utara dan Eropa yang kapitalismenya muncul dan berkembang secara alami, perkembangan kapitalisme di Indonesia disebabkan oleh pengaruh penjajah asing yang mengeksploitasi kekayaan Indonesia untuk memuaskan kepentingan pihak asing tersebut. Hal ini menghasilkan kemajuan ekonomi Indonesia yang tidak teratur seperti semestinya. Sampai saat ini, Indonesia belum dapat menghasilkan barang-barang untuk penduduknya sendiri maupun untuk perdagangan luar negeri. Mesin-mesin pertanian, keperluan rumah tangga, serta bahan-bahan produksi yang dipakai oleh rakyat Indonesia mayoritas tidak dibuat oleh tangan sendiri (Malaka, 2008: 49).

            Kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia tak lantas membuat kapitalisme di Indonesia hilang. Pada masa kemerdekaan dan pada masa Orde Lama, ekonomi Indonesia lemah. Oleh sebab itu, pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto dengan rezimnya menerapkan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk pembangunan nasional dan kesejahteraan ekonomi. Dalam praktiknya, rezim Soeharto membuat kapitalisme di Indonesia semakin kuat. Pembangunan besar-besaran membuat para investor asing tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Tatanan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto mencerminkan suatu bentuk pemerintahan oligarki yang menempatkan golongan-golongan dengan power yang kuat atau penguasa sebagai pengambil keuntungan untuk memenuhi kepentingannya (Robinson & Hadiz, 2004: 42-3). Dalam KTT APEC di Bogor tahun 1994, Presiden Soeharto menyatakan bahwa siap atau tidak siap, Indonesia akan memasuki perdagangan bebas. Momentum inilah yang menjadi cikal bakal perdagangan bebas di Indonesia hingga kini. Para investor asing yang membanjiri pasar usaha Indonesia semakin mendesak para investor pribumi. Persaingan serta sistem pemerintahan oligarki menjadi sebab terjadinya krisis ekonomi dan inflasi di tahun 1997-1998, hingga akhirnya Presiden Soeharto mundur dari jabatannya (Pusat Penelitian Politik, 2009), meninggalkan jejak-jejak kapitalisme di Indonesia.

            Kapitalisme yang terus bertumbuh di Indonesia ini, tidak lepas dari pengaruh kolonialisme Belanda. Kedatangan VOC sampai pada masa diberlakukannya sistem tanam paksa merupakan akar dari kapitalisme di Indonesia. Kekejaman sistem tanam paksa yang dilakukan Belanda merupakan bentuk dari praktik kapitalisme, yakni Belanda yang memeras kekayaan pribumi demi memenuhi kepentingan pemeritahannya pada saat itu. Keadaan yang demikian disebut sebagai politik perampok bangsa Belanda. Politik tersebut pula yang kemudian memusnahkan benih-benih industri bumiputera modern (Malaka, 2008: 49). Setelah sistem tanam paksa dihapuskan dan setelah kemerdekaan, kapitalisme di Indonesia berkembang dengan bentuk imperialisme baru. Modal-modal asing mulai masuk ke Indonesia pada masa Orde Baru, yang setelah beberapa waktu menimbulkan kesenjangan antara masyarakat yang memiliki modal dengan yang tidak memiliki modal. Meskipun perkembangan pembangunan dan ekonomi Indonesia semakin maju, banyak dampak negatif yang bahkan dapat dirasakan sampai sekarang. Di antaranya kesenjangan kelas-kelas sosial dan efek penyelewengan yang dilakukan oleh Soeharto. Banyaknya modal yang masuk membuat Soeharto memakai uang tersebut bukan lagi untuk rakyat melainkan untuk kepentingannya sendiri. Pemikiran kolonialisme yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu dan memiskinkan pihak-pihak yang lain mencerminkan dipengaruhinya kapitalisme Indonesia oleh kolonialisme Belanda.

            Sampai saat ini, kapitalisme masih terus berkembang di Indonesia. Kekayaan sumber daya Indonesia masih dieksploitasi oleh negara-negara lain. Selain itu, terdapat banyak fenomena yang menggambarkan bahwa kapitalisme masih eksis di Indonesia, di antaranya banyak pemilik modal yang mengeruk kekayaan untuk kepentingannya sendiri sehingga menyebabkan kesenjangan yang semakin besar antara kelas-kelas sosial yang ada. Penulis menyimpulkan bahwa pada awalnya, struktur kapital di Indonesia masih prematur atau rentan. Seiring berjalannya waktu, serta dengan pengaruh yang datang dari luar maupun dalam Indonesia, kapitalisme terus berkembang, bahkan sampai saat ini. Salah satu faktor yang memengaruhi berkembangnya pemikiran dan praktik kapitalisme adalah ‘contoh’ yang dapat kita lihat pada masa penjajahan Belanda. Menurut penulis, perkembangan kapitalisme pada zaman modern ini juga terjadi karena pengaruh neoliberalisme yang semakin kuat. Gencarnya pasar bebas dan masalah Freeport adalah beberapa contoh semakin berkuasanya modal asing di Indonesia.

PENGANTAR AKUNTANSI DASAR


Pengertian sederhana dari akuntansi adalah suatu ilmu yang digunakan untuk mempelajari aktivitas pengeluaran dan pemasukan keuangan. Sedangkan pengertian akuntansi dalam artian luas adalah proses kegiatan jasa untuk mengolah data-data keuangan atau input yang nantinya akan menghasilkan informasi keuangan atau output dalam ukuran uang yang bermanfaat bagi beberapa pihak yang berkepentingan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan ekonomi. Pihak-pihak yang membutuhkan informasi keuangan akuntansi adalah: 1. Pihak intern
Pihak intern adalah manajemen perusahaan, informasi keuangan sangat dibutuhkan oleh pihak manajemen perusahaan untuk mengetahui perkembangan keuangan perusahaan yang dikelolanya. Laporan keuangan aka dijadikan dasar penyusunan anggaran dan perumusan kebijakan ekonomi perusahaan.

Karyawati, informasi keuangan sebagai dasar untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam pemberian, gaji, fasilitas, bonus dan untuk menilai prospek perusahaan sehingga dapat dijadikan dasar untuk memutuskan akan tetap bekerja di perusahaan tersebut atau pindah.

2. Pihak ekstern
- Pemilik perusahaan, informasi keuangan dijadikan dasar untuk mengetahui posisi keuangan perusahaan dan sebagai dasar untuk menilai kinerja dari manajemen perusahaan.

- Bank atau Kreditur, informasi keuangan dijadikan dasar oleh pihak kreditur atau bank untuk menilai tingkat kesehatan suatu perusahaan yang akan dan telah melakukan pinjaman modal dan infromasi keuangan juga dijadikan dasar untuk mengetahui tingkat kemampuan debitur dalam mengembalikan kewajibannya (utang/pinjaman).